Hal yang paling mendasar dan paling dibutuhkan oleh seorang insan adalah iman. Karena iman itu menyejukkan hati serta memberinya kekuatan menapaki kehidupan di dunia menuju perjalanan pulang ke kampung akhirat. Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah mengajarkan kepada kita tentang pokok-pokok iman. Beliau katakan bahwa iman itu ada enam, yaitu “Engkau beriman kepada (1) Allah; (2) para malaikatNya; (3) kitab-kitabNya; (4) para rasul; (5) Hari Akhir; (6) dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk.” (HR. Muslim).
Kita pun telah hafal enam rukun iman ini dan telah melekat dalam pikiran kita semua. Oleh karena itu, marilah kita merenung sejenak mengenai makna-makna rukun iman ini dimulai dari rukun iman paling mendasar dan yang paling pokok: Iman kepada Allah.
Tidak Ada, Kemudian Ada
Andaikan kita tengah tersesat di hutan, berjalan tidak tahu arah, hanya mengandalkan insting dan perasaan, dikelilingi oleh semak belukar dan pohon-pohon besar, kelaparan dan ketakutan, tanpa sinar matahari yang cukup untuk menerangi, serta terancam bahaya dari binatang-binatang ganas yang kapan saja siap menerkam. Tiba-tiba di tengah kengerian hutan itu, kita menemukan sebuah meja makan yang terbuat dari ukiran kayu jati dalam keadaan tertata rapi lengkap dengan hidangan makanan yang tersaji dalam keadangan hangat dan siap disantap. Tidak lupa buah-buahan segar pun terhidang ditambah minuman nikmat yang dapat melepas penat dan dahaga. Dalam keadaan tidak ada siapa-siapa. Pun masih di tengah belantara rimba. Lantas, apa yang akan muncul di benak kita? Tentu saja, segudang pertanyaan. Siapa yang menaruh meja di sini? Siapa pula yang memasak makanan? Siapa yang menghidangkan? Kenapa bisa ada di sini? Dan sejumlah pertanyaan lain. Tidak lain karena hal ini kita anggap aneh.
Begitu pula, ketika pertama kali kita ‘mampir’ ke dunia ini. Kita pandang langit, luas dan menenteramkan. Bumi yang kita pijak luas terhampar. Matahari di sana, panas membakar. Gunung yang tinggi kokoh menjulang. Siang itu terang benderang, sedang malam gelap bertabur bintang. Sebagai insan berakal, kita pun merenungkan alam ini. Sampailah pada pertanyaan, “Siapakah gerangan yang menciptakan?” Sebuah pertanyaan yang tidak bisa tidak, pasti akan muncul. Sebab akal tidak bisa menerima jika sesuatu menjadi ada, tanpa ada yang menciptakan. Apalagi menerima pernyataan bahwa alam tercipta dengan sendirinya secara kebetulan. Bagaimana mungkin kita bisa membuat rumah hanya dengan melempar-lempar batu saja? Bagaimana mungkin bumi tiba-tiba ada hanya karena “batu-batu” yang berkumpul jadi satu saja? Kalau seluruh benda langit terjadi dengan cara demikian, kenapa bumi beda dengan matahari? Kenapa juga beda dengan bulan dan bintang? Jawabnya, karena proses yang berbeda. Lantas, siapa yang membuat proses tersebut?
Ada seorang arab badui ditanya, “Apa bukti adanya Sang Pencipta?” Maka orang yang jauh dari peradaban modern ini menjawab dengan fitrahnya, “Subhanallah! Kotoran unta itu bukti adanya unta, jejak-jejak kaki bukti ada yang melakukan perjalanan. Langit yang bertabur bintang, bumi yang punya jalan-jalan, serta laut tempat bergulungnya ombak bukankah bukti adanya Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui?” (Haqiqotut Tauhid, hal. 70)
Imam Syafi’i pula menjelaskan saat beliau ditanya bukti adanya Sang Khalik,
“Ini daun sebuah pohon, rasanya hanya satu. Dimakan oleh ulat lalu dari ulat keluar sutra. Dimakan oleh lebah lalu dari lebah keluar madu. Dimakan pula oleh kambing, sapi, dan hewan ternak lalu mereka membuangnya dalam bentuk kotoran dan tinja. Dimakan pula oleh kijang lalu kijang menghasilkan minyak yang merupakan sesuatu yang berbeda lagi.” (Haqiqotut Tauhid, hal. 67)
Siapa yang Membuat Tidak Ada Menjadi Ada?
Siapa yang menciptakan? Pastinya Dia yang menciptakan itu sangat berkuasa karena bisa menciptakan serta mengatur dan menjaga ciptaanNya tanpa pernah lupa memberikan rezeki untuk semua makhluk ciptaanNya. Tetapi, siapa Dia? Pertanyaan ini tidaklah dapat dijawab semata oleh akal manusia. Oleh karena itu, Dia pilih di antara manusia itu orang-orang yang Dia utus untuk mengenalkan manusia akan Dia. Diutuslah Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan nabi-nabi yang lain seraya berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Kamu tidak memiliki tuhan yang layak disembah selain Dia.” (QS. Al-A’raf : 59, 65, 73, dan 85).
Serta Dia ajarkan pada manusia, “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu bersemayam di atas ‘Arsy. Dia tutupkan malam kepada siang yang mengikuti dengan cepat, Dia ciptakan pula matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk pada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raf : 54)
Akhirnya, kenallah manusia akan Rabb mereka. Maka siapa saja yang mengikuti fitrahnya yang lurus akan dia ikuti utusan Rabbnya. Namun, siapa yang memperturutkan hawa nafsu, ingkarlah ia pada rasulNya. Dengan mengikuti para rasul, manusia menjadi kenal akan Tuhannya. Sebagaimana fitrahnya, manusia cenderung ingin lebih mengenal Tuhannya dan ingin mempersembahkan ibadah kepadaNya. Lantas, lewat para nabilah Allah memperkenalkan diriNya kepada hamba-hambaNya. Dia ajarkan para hambaNya nama-nama yang Dia miliki. Dia juga terangkan pada mereka sifat-sifatNya yang mulia.
Dia ajarkan pada mereka bahwa Dia itu esa. Tidak layak baginya memiliki anak serta tak pantas Dia berbilang. Sebab jika Tuhan itu berbilang “Maka masing-masing Tuhan akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian Tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (QS. Al-Mu’minun : 91). Dia itu Maha Kuasa atas segala sesuatu sehingga tidak memerlukan serikat dalam mengatur alam.
Dia juga kabarkan para hambaNya bahwa Dia itu adalah as-Sami’ (Yang Maha Mendengar) lagi al-Bashir (Yang Maha Melihat). Dia firmankan (artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang semisal Dia, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11). Dia ajarkan bahwa Dia itu Maha Tinggi di atas segala hambaNya, “Dan Dialah Yang Maha Kuasa, di atas semua hambaNya. Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am : 18). Bersama dengan itu, Dia Maha Dekat dengan para hamba, “Jika para hambaKu bertanya tentang Aku, (jawablah) bahwa Aku dekat.” (QS. Al-Baqarah : 186).
Allah ajarkan para hambaNya mengenai diriNya karena para hambaNya tidak akan sanggup mengenalNya tanpa penjelasan dariNya. Sebab Dialah yang paling tahu perihal diriNya sendiri dan yang paling tahu akan makhluk ciptaanNya, tidak ada yang lebih mengetahui selain diriNya.
“Hanya kepadaMu Kami Menyembah”
Hanya Allah saja yang berkuasa menciptakan alam semesta, Dia pula yang bersendirian mengatur dan menjaga semua makhluk serta memberikan rezeki kepada mereka. Dia yang memiliki semua sifat-sifat sempurna lagi mulia, maka layaklah seorang hamba untuk hanya menyembah kepada Allah semata. Allah mengajarkan para hambaNya untuk mengatakan, “Hanya kepadaMu sajalah kami menyembah dan hanya kepadaMu saja kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5).
Di waktu yang sama Dia melarang kita melakukan perbuatan syirik, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (QS. Al-Isra’ : 23 ). Allah perintahkan agar kita menaati Sang Rasul, “Katakan: Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul.” (QS. Ali Imran : 32 ). Rasul pun telah menegaskan, “Siapa yang taat padaku, dia telah menaati Allah. Siapa yang durhaka kepadaku, dia durhaka kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maka, wahai hamba Allah, tidaklah pantas jika ketaatan dan ketundukan diberikan kepada selain Allah. Padahal seluruh nikmat yang Anda nikmati bersumber dari Allah. Siapa dia yang Anda taati selain Allah? Dia bukan yang menciptakan juga bukan yang menjamin rezeki. Sehingga tidak pantas jika perintah selain Allah didahulukan daripada perintah Allah, tidak layak larangan selain Allah diperhatikan sedang larangan Allah dilanggar. Kita diciptakan sebagai hamba maka tiada bermakna kehidupan jika bukan kepada Allah kita menghamba.
Itulah yang dinamakan iman kepada Allah, yaitu: (1) beriman akan adanya Allah; (2) beriman bahwa Dia satu-satunya yang menciptakan, mengatur, dan memberi rezeki (aspek rububiyah); (3) beriman bahwa Dia memiliki nama-nama yang indah lagi sifat-sifat yang mulia (aspek asma’ wa shifat); dan (4) beriman bahwa Dia sajalah yang berhak diibadahi (aspek ‘uluhiyah).
Demikianlah pemaparan singkat mengenai iman kepada Allah. Semoga Allah meneguhkan kita di atas iman dan menumbuhkan kelezatan dan kesejukan iman di hati kita. Wallahu waliyyut taufiiq.
Oleh: Miftah Hadi Syahputra Anfa (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Pemurojaah : Ust. Afifi Abdul Wadud, BIS
Referensi:
Syarh al Aqiidah al Waasithiyyah. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Aqidatul Mu’min. Abu Bakar Al-Jazairi
Maa Laa Yasa’ul Muslima Jahluhu. Abdullah Al-Mushlih & Shalah ash-Shawi.
Syarh al Aqiidah al Waasithiyyah. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Haqiqotut Tauhid. Muhammad Hassan